Oleh Elsa Sichrovsky
Alkitab banyak berbicara tentang kekuatan dari apa yang kita ucapkan. Salah satu ayat kesukaan saya adalah: “Awasilah mulutku, ya TUHAN, berjagalah pada pintu bibirku!” Jelas, Alkitab ditulis sebelum ada sosial media dan aplikasi messenger saat ini, sehingga tidak berbicara tentang potensi untuk membantu atau menyakiti ketika saya menggunakan jari saya untuk menulis pesan. Baru-baru ini saya memiliki pengalaman yang mengajarkan bahwa peringatan Alkitab tentang lidah hendaknya juga dipakai untuk menuntun dalam hal mengirim teks diiringi dengan doa dan kehati-hatian yang sama. Saya dan tiga rekan kerja sedang mengerjakan sebuah proyek dan kami sering berdiskusi melalui Facebook Messenger. Pada satu kesempatan, John tiba-tiba tidak hadir dalam diskusi online yang penting, dan sebagai akibatnya, kami tidak bisa mengambil keputusan tanpa informasi dari John yang merupakan tanggungjawabnya. Merasa jengkel atas ketidakhadiran John yang tanpa penjelasan dan waktu kami yang terbuang, saya mengirim teks dalam obrolan grup: “Diskusi kelompok sangat menyebalkan ketika salah seorang anggota tidak ada!”
Sejauh ini, John adalah anggota tim yang sangat membantu dan bertanggung jawab, tetapi tak lama setelah ketidak-hadirannya, dia tidak lagi tertarik. Belakangan, saya mendengar dari seorang teman bahwa pada hari ada rapat yang penting itu John berhalangan karena ada urusan penting dan dia tidak bermaksud untuk mengabaikan komitmennya kepada proyek kami. Dia merasa sakit hati dengan tulisan saya dan hampir saja meninggalkan grup.
Saya sadar seandainya kami berdiskusi sambil bertatap wajah, mungkin saya tidak akan mengutarakan komentar di atas. Namun merasa aman di balik layar komputer jinjing, saya merasa bebas mengutarakan apa saja yang melintas di benak saya. Dengan tidak mengindahkan apakah perasaan frustrasi saya itu dibenarkan atau tidak, saya sadar bahwa ada hikmah yang perlu saya pelajari. “Awasilah jemariku, ya TUHAN, berjagalah pada tanganku ketika aku mengetik!”
0 Comments
Tahun baru saya secara harfiah dimulai dengan ledakan! Pada tanggal 31 Desember, hape saya melompat dari genggaman tangan saya dengan begitu saja.
Dengan serta merta saya memungutnya, tidak berekspektansi hape itu rusak. Hape itu jatuh pada lantai berkarpet, dan hape itu sudah berulang-ulang kali terjatuh tanpa kerusakan. Nah, kali ini berbeda. Segera setelah saya membalikkannya dan melihat garis-garis retak yang seperti sarang laba-laba di seluruh layar hape, hati saya tercekat. Masih berfungsi, tetapi dengan cara yang tidak bisa dipakai. Dan jelas sudah tidak bergaransi. Tetapi saya bukan mau merengek di sini dan meminta simpati. (Yah, mungkin sedikit.) Kejadian ini sebenarnya mengajarkan saya sesuatu, dan persis waktunya untuk tahun baru. Pertama-tama, jangan terlalu bergantung pada rencana atau pengalaman masa lalu. Hari ini, segala sesuatu mungkin saja berbeda, dan sebenarnya mungkin memang demikian. Kita perlu menjalani hari demi hari, bersikap terbuka terhadap hal-hal baru yang mungkin dibawakan Tuhan ke dalam hidup kita, atau jika tidak demikian kita dapat mendapati diri terkejut dan tidak siap.
Kedua, ini mengajarkan saya bahwa dalam hidup, banyak hal terjadi. Hidup secara definisi bergerak dan berubah. Mungkin Bapa kita mengizinkan hal-hal ini karena, dalam hikmat-Nya, Dia tahu itu akan membuat kita lebih baik. Kita tidak boleh berkecil hati ketika berhadapan dengan hal-hal yang keras. Mungkin kita akan mengatasinya dalam kemenangan yang mulia, dan melihat betapa menakjubkannya Tuhan kita. Atau mungkin kita akan terpukul olehnya, nyaris tidak bisa bangun, merasa sepertinya telah salah menanganinya, dan masih tetap melihat betapa menakjubkannya Tuhan kita! Masa depan kita pasti dan pertolongan kita konstan.
Jadi bahkan jika saya sekarang melihat melalui “cermin suatu gambaran yang samar-samar”, saya tahu pasti bahwa “nanti akan menjadi sempurna.” (1Korintus 13:12.) Story courtesy of Activated magazine. Image 1 designed by macrovector/Freepik; Image 2 designed by Freepik.
|
Categories
All
Archives
September 2024
|