Oleh Elsa Sichrovsky Beberapa tahun yang lalu, saya terlibat dalam proyek sukarela yang mengelola pusat makanan untuk siswa yang kurang mampu. Selama dua tahun pertama, saya membantu membersihkan dapur, berbelanja persediaan makanan, dan menyiapkan makanan. Saya merasakan kebanggaan dalam membantu menghasilkan makanan yang seimbang, lezat, namun ekonomis. Ketekunan saya diakui oleh para pemimpin organisasi dan saya diberi tanggung jawab lebih besar untuk mengelola dana dan merancang menu. Namun, pada tahun ketiga saya menjadi bagian dari proyek ini, manajemen baru mengalihkan fokus organisasi untuk menyediakan kelas perbaikan dalam bahasa Inggris dan sains kepada siswa yang berjuang secara akademis di lingkungan berisiko. Pusat makanan secara dramatis dikurangi dan sejumlah besar staf dapur, termasuk saya, dipekerjakan kembali sebagai asisten guru. Sebagian besar mantan koki senang meninggalkan pekerjaan tak terlihat mereka sebagai staf dapur dan menikmati berinteraksi langsung dengan anak-anak, tetapi tidak demikian halnya dengan saya. Sayuran dan panci tidak pernah berdebat dengan saya, tetapi di ruang kelas saya menghadapi siswa yang ceroboh dan tak terduga serta seorang guru yang memiliki pendapat sendiri tentang bagaimana saya harus membantunya. Ketidak-stabilan dan ketidak-pastian ruang kelas, di samping hilangnya zona nyaman saya, tempat di mana saya merasa puas dan terkendali, tidak menyenangkan, dan sementara saya memenuhi tugas-tugas pokok, saya tidak memberikan antusiasme dan hati nurani kepada ruang kelas yang sama seperti yang saya berikan di dapur. Suatu hari, saya mengeluh kepada salah seorang juru masak rekan kerja saya tentang manajemen baru. Dia bersimpati, “Ya, tidak mudah bagi saya untuk melihat organisasi yang untuknya saya telah memberikan begitu banyak waktu berubah menjadi wajah yang berbeda.” Kemudian dia melanjutkan. “Tapi perubahan adalah bagian integral dari kehidupan, dan kadang-kadang ada baiknya menyesuaikan diri dengan arus yang mengalir.” ![]()
“Tetapi saya tidak suka dengan caranya mengalir!” saya protes. “Saya merasa seperti ikan yang berada di darat.”
“Ingat bagaimana dulu dapur juga merupakan tempat yang baru bagi kamu?” dia mengingatkan saya. “Aduh, rasanya itu seperti beratus tahun yang lalu!” saya berseru. “Benar sekali. Kamu banyak belajar tentang dapur, dan kamu akan banyak belajar tentang mengajar jika kamu bersedia untuk beranjak keluar dari zona aman kamu.” Bertahun-tahun kemudian, saya bersyukur atas nasihat teman saya itu, dan saya masih mengingatnya untuk membantu saya menghadapi proses yang menyakitkan dari perubahan hidup yang konstan. Selama saya membatasi diri untuk melakukan hal-hal yang saya sukai dan yang untuknya saya unggul, pertumbuhan pribadi saya tersendat. Tetapi jika saya mengalir dengan perubahan yang tengah berlangsung dan membiarkannya mendorong saya untuk maju, saya bisa memperoleh keahlian baru dan menikmati pengalaman baru.
Image credits: Kitchen image designed by Freepik. Classroom image designed by vectorpocket / Freepik. Image of young woman designed by vectorpouch/ Freepik.
Text courtesy of Activated magazine. Used by permission ![]()
Joyeux Noël (film, 2005) mengisahkan peristiwa yang didokumentasikan dengan baik yang terjadi pada medan pertempuran di Perancis pada Malam Natal, 1914.
Suatu pertempuran Perang Besar (Perang Dunia I) melibatkan sekitar 3.000 tentara dari Skotlandia, Perancis, dan Jerman. Pada Malam Natal, seseorang di pihak Jerman mulai menyanyikan “Silent Night (Malam Kudus).” Segera setelah itu orang Skotlandia dengan instrumen bagpipe merespon, tak lama kemudian ketiga serdadu itu menyanyikan lagu bersama-sama dari parit yang sama, yang hanya terpisah sejauh 100 meter di mana beberapa jam sebelumnya mereka saling membunuh. Alangkah kontrasnya! Diperlengkapi dengan kehangatan lagu yang digemari secara universal ini, pihak-pihak yang bertikai memberanikan diri keluar dari parit dan sepakat untuk melakukan gencatan senjata tidak resmi. Di beberapa tempat di sepanjang garis, gencatan senjata Natal berlangsung selama sepuluh hari. Musuh saling bertukar foto, alamat, coklat, sampanye, dan hadiah kecil lainnya. Mereka mendapati ada lebih banyak kesamaan daripada yang mereka sadari, termasuk seekor kucing yang berjalan dari satu sisi ke sisi yang lainnya dan berteman dengan semua orang, yang diklaim oleh kedua belah pihak sebagai maskot mereka. Yang dulu bermusuhan berkomunikasi sebisa mungkin dalam bahasa masing-masing. Komandan Jerman, Horstmayer, berkata kepada Letnan Perancis Audebert, “Ketika kami mengambil-alih Paris, semuanya akan berakhir. Kemudian Anda dapat mengundang saya untuk minum di rumah Anda di Rue Vavin!” “Tidak perlu harus menyerbu Paris untuk minum di rumah saya!”, jawab Audebert. ![]()
Persahabatan yang dibina di antara pihak yang bertikai lebih dari basa-basi semata. Pagi hari setelah gencatan senjata Natal berakhir, masing-masing pihak memperingatkan akan adanya tembakan artileri yang mereka tahu berasal dari unit artileri mereka. Rasa persahabatan yang baru ditemukan begitu kuat sehingga beberapa tentara bahkan berlindung di parit pihak lawan untuk menjaga mereka dari bahaya.
Apakah yang membawa perubahan luar biasa ini? Semuanya dimulai dengan berbagi kegemaran akan lagu Natal itu. Peristiwa ini mengingatkan kita bahwa ada obat untuk perang, dan itu adalah dengan berhenti mengutuk musuh dan belajar mengasihi mereka, sebagaimana kita diajarkan oleh Yesus. Setiap orang perlu mengasihi dan dikasihi. Jika setiap dari kita mau berusaha untuk mengenal orang lain yang dengannya nampaknya kita tidak punya banyak kesamaan, mungkin saja kita akan mendapati, seperti halnya para tentara di medan pertempuran, bahwa ada banyak kesamaan lebih daripada yang kita sadari. Text adapted from Activated magazine. Used by permission. Images from the movie Joyeux Noel (2005) directed by Christian Carion. Used under Fair Use guidelines.
Mulailah latihan ini dengan membayangkan diri Anda berada di tengah-tengah lingkaran konsentris. Anda berada di tengah, tetapi fokusnya bukan pada Anda. Pada lingkaran yang pertama adalah keluarga dan teman-teman dekat. Barangkali mudah untuk mengingat paling tidak dua atau tiga orang. Catatlah.
Sekarang bayangkanlah lingkaran yang berikutnya, rekan-rekan kerja. Catatlah nama dan kebutuhan mereka. Sekarang bayangkanlah lingkaran yang paling besar, orang-orang yang tidak Anda kenal secara pribadi, tetapi yang kamu ketahui kebutuhannya—wanita di kursi roda yang kamu lewati di tepi jalan, keluarga yang tidak punya rumah, yang ceritanya kamu baca. Catatlah. Pada poin ini barangkali ada sepuluh orang dalam daftar Anda. Doakanlah orang-orang ini setiap hari minggu depan. Simpanlah daftar di mana Anda bisa mengingatnya, berangkali di sisi pembaringan atau di meja Anda. Luangkanlah waktu lima atau sepuluh menit setiap hari untuk mendoakan mereka. Bahkan beberapa menit ada artinya, doa yang didoakan dengan sepenuh hati dapat membawa perubahan bagi kehidupan seseorang. “Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya.” Text adapted from Activated magazine. Image (foreground) designed by Freepik. Background in public domain.
Cerita untuk anak yang lebih tua tentang cinta, kebaikan, toleransi, dan pengampunan.
Saya pernah mendengar kisah nyata tentang seorang wanita yang terjebak di dalam gedung yang terbakar, di lantai 80. Wanita ini takut akan ketinggian dan ruangan yang tertutup, dan ketika alarm kebakaran berbunyi, ia menolak untuk mengikuti teman-temannya menuju ke tangga untuk mengungsi ke tempat yang aman.
Petugas pemadam kebakaran memeriksa gedung dan menemukan wanita tersebut bersembunyi di bawah meja, menantikan ajalnya. Dia berteriak-teriak “Aku takut, aku takut!” ketika didesak untuk berjalan menuju ke tangga hingga salah seorang petugas mengatakan, “Tidak apa-apa, berjalan saja meskipun takut.” Ia mengulanginya sepanjang jalan hingga tiba ke lantai dasar, hingga wanita itu sudah aman. Kita semua menghadapi momen-momen seperti ini—ketika kita tahu apa yang harus dilakukan, tetapi rasa takut menahan kita. Dalam upaya untuk menonjol, Anda harus mengembangkan kebiasaan untuk bertindak meskipun merasa takut. Bukan masalah merasa takut—tetaplah melakukannya meskipun takut. Bukan masalah merasa tidak yakin—tetaplah melakukannya meskpun tidak yakin. Yang penting lakukanlah sesuatu. Tantangan yang baru bisa jadi canggung, bahkan pada mulanya menakutkan. Tetapi jika kita dengan sengaja menampatkan diri pada posisi itu dan melakukan persisnya apa yang membuat kita merasa takut, ini akan menjadi lebih mudah dan kita akan menjadi lebih mahir. Pada akhirnya kita tidak akan merasa takut lagi. Itu namanya menaklukkan ketakutan kita! Story courtesy of Activated magazine. Used by permission. Image by Vexels.com Oleh Elsa Sichrovsky Pada suatu hari ketika saya berusia sembilan tahun, saya dan kakak lelaki saya pergi berenang. Saya belum belajar berenang dengan benar dan hanya bisa berenang seperti anjing kecil dan mengapung. Sedangkan kakak lelaki saya adalah perenang yang luar biasa, itulah sebabnya orang tua kami menyuruh dia untuk mengawasi saya. Pagi itu kami berdebat tentang sesuatu yang saya bahkan tidak ingat lagi, jadi saya jengkel ketika orang tua saya bersikeras agar kakak menemani. Saya bertekad untuk melakukan apa yang saya kehendaki sendiri dan bersikeras berenang sendiri. Saya mulai berenang dari ujung kolam renang yang dangkal, dan mengapung sambil berbaring beberapa saat lamanya hingga tiba-tiba tersadar bahwa mungkin saya sudah hampir tiba di ujung kolam, dan kuatir kepala saya menabrak dinding kolam renang. Berpikir bahwa saya hanya beberapa sentimeter dari tepian, saya membalikkan tubuh. Sebenarnya saya baru mencapai sekitar tiga perempat dari panjang kolam renang, tetapi saya sudah tidak bisa menjejakkan kaki di dasar kolam. Saya panik dan mulai meronta-ronta, yang mana hanya membuat air masuk ke dalam hidung dan mulut lebih banyak lagi. Tersedak dan berjuang mati-matian, saya merasa ada sepasang lengan di pinggang yang mengangkat saya ke atas permukaan air dan membawa saya ke tepi kolam renang. “Kamu baik-baik saja?” tanya kakak. Saya menggumam sambil memuntahkan air kolam, merasa malu dan berekspektansi kakak akan memarahi saya. Sebaliknya, dia menunggu tanpa mengucapkan sepatah kata pun sampai saya tenang dan kemudian membawa saya pulang. Kalau diingat-ingat, saya dan kakak tidak terlalu dekat. Kami berselisih tentang masalah-masalah terkecil, seperti siapa yang mendapat potongan roti yang lebih tebal untuk sarapan. Tetapi dengan kakak menyelamatkan saya di kolam memperlihatkan kekuatan ikatan persaudaraan kami. Terlepas dari semua perbedaan, ketika saya sangat membutuhkannya, kakak saya ada di situ. Kasih sayang kakak juga berfungsi sebagai ilustrasi tentang bagaimana Yesus, Kakak spiritual saya, adalah pertolongan yang senantiasa ada pada saat-saat sulit. Bahkan ketika dalam ketinggian hati dan keras kepala saya berpaling dari-Nya, dan berdebat tentang cara-Nya bekerja dalam hidup saya, Dia tidak membiarkan tuntutan ketinggian hati saya yang ingin bebas merdeka menghentikan-Nya untuk merangkul saya ketika berada dalam bahaya dan stres. Meskipun perasaan kita naik dan turun, kasih sayang Tuhan untuk kita tidak demikian.—C.S. Lewis (1898–1963) Story courtesy of Activated magazine. Used by permission. Image of children designed by brgfx/Freepik; background image in public domain.
|
Categories
All
Archives
February 2019
|